Pada tahun 1922 sampai 1934, Leonard Woolley dari The British Museum, Inggris, dan University of Pensylvania, Amerika, memimpin sebuah penggalian arkeologis di tengah padang pasir antara Baghdad dan Teluk Persia.
Di tempat yang diperkirakan dulunya pernah berdiri sebuah kota bernama Ur, mereka melakukan penggalian. Dari lapisan pertama kerak bumi hingga lima meter ke bawah terdapat sebuah lapisan tanah yang berisi berbagai benda yang terbuat dari perunggu dan perak. Ini benda-benda peninggalan bangsa Sumeria yang diperkirakan hidup sekitar 3.000 tahun Sebelum Masehi.
Mereka bangsa yang telah dapat membuat benda dari logam. Di bawah lapisan pertama itu mereka menemukan sebuah lapisan kedua berisi deposit pasir dan tanah liat setebal 2,5 meter. Pada lapisan itu masih terdapat sisa-sisa hewan laut berukuran kecil.
Yang mengejutkan, di bawah lapisan pasir dan tanah liat itu terdapat lapisan ketiga berisi benda-benda rumah tangga yang terbuat dari tembikar. Tembikar itu dibuat oleh tangan manusia. Tidak ditemukan benda logam satu pun di lapisan itu. Diperkirakan, benda-benda tersebut peninggalan masyarakat Sumeria Kuno yang hidup di Zaman Batu. Menurut perkiraan para ahli, lapisan kedua itu adalah endapan lumpur akibat banjir yang terjadi pada zaman Nabi Nuh.
Banjir itu telah menenggelamkan masyarakat Sumeria Kuno, yang kemungkinan besar mereka adalah kaum Nabi Nuh. Lalu lumpur yang terbawa banjir itu menimbun sisa perabadan masyarakat tersebut. Berabad-abad, atau puluhan abad kemudian setelah banjir berlalu, barulah hadir kembali masyarakat baru di atas lapisan kedua itu, yakni masyarakat Sumeria Baru, yang peradabannya jauh lebih maju daripada masyarakat Zaman Batu yang tertimbun lumpur itu.
Peradaban bangsa ini terbagi dua: peradaban sebelum banjir besar, atau disebut juga Sumeria Kuno, dan pascabanjir besar, Sumeria Baru.
Bangsa Sumeria hidup di lembah Sungai Eufrat dan Tigris, Irak sekarang, yang subur dan terkenal dengan nama Lembah Mesopotamia. Mereka menggantungkan pola hidupnya dengan mengolah tanah-tanah pertanian. Lembah itu telah dihuni sejak 4.000 SM, bahkan mungkin lebih tua lagi. Bangsa Sumeria adalah bangsa yang pertama kali membangun sebuah peradaban besar di muka bumi ini. Mereka mempunyai tradisi sastra yang kuat dan mengembangkan hukum serta mitologi yang mengesankan. Di samping itu, mereka sudah memiliki aksara cuneiform (aksara atau simbol-simbol huruf, seperti aksara Hieroglif di Mesir Kuno) sebagai alat komunikasi dan penulisan-penulisan karya ilmiah.
Kota yang paling terkenal adalah Ur, Uruk, atau Urartu. Di samping kota Ur, dikenal pula kota-kota kuno lainnya yang dibangun bangsa Sumeria; seperti Erech, Shuruppak, dan Kish.
Sistem kepercayaan mereka adalah mempercayai adanya dewa-dewi yang memberikan perlindungan hidup di dunia ini. Dewa tertinggi dan terkuat di antara mereka adalah Dewa Inana. Ini adalah dewa langit yang merajai seluruh dewa-dewi. Di dalam Al-Quran, dewa-dewi itu disebut Wudd, Suwa, Yaghuts, Ya'uuq, dan Nasr. “Dan mereka berkata, ‘Jangan sekali-kali kamu meninggalkan tuhan-tuhan kamu dan jangan pula sekali-kali kamu meninggalkan Wadd, Suwwa', Yaghuts, Ya'uq, dan Nasr.” (QS Nuh: 23).
Bangsa inilah yang pertama kali memperkenalkan kuil-kuil atau candi yang dinamakan ziggurat sebagai tempat ibadah dan persembahan kepada dewa-dewinya. Dewa dan dewi itu digambarkan dalam bentuk patung yang tersebar di banyak ziggurat di kota-kota Sumeria.
PERADABAN SUMERIA KUNO
Peradaban tinggi yang telah dibangun oleh bangsa Sumeria Kuno, membuat masyarakatnya semakin jauh dari petunjuk yang telah dibawa oleh para nabi terdahulu. Patung dewa-dewi yang mereka sembah adalah bukti kesesatan itu. Maka, diutuslah Nuh dari kalangan mereka untuk menyampaikan ajaran ketauhidan, supaya beribadah hanya kepada Allah.
“Nuh berkata, ‘Hai kaumku, sesungguhnya aku adalah pemberi peringatan yang menjelaskan kepada kamu. Sembahlah Allah, bertakwalah kepada-Nya, dan taatlah kepadaku. Niscaya Allah akan menghapuskan sebagian dosamu dan menangguhkan kamu sampai pada waktu yang ditentukan. Sesungguhnya ketetapan Allah apabila telah datang tidak dapat ditangguhkan kalau kamu mengetahui.” (QS Nuh: 2-4).
Seperti biasa, jawaban yang diterima Nuh sama seperti jawaban orang-orang pembangkang dan sombong yang lainnya. Mereka mengatakan, Nuh tidak lain adalah seorang manusia biasa yang tidak memiliki kemampuan apa-apa. Bahkan mereka menuduh, ia adalah seorang yang hilang ingatan. Namun demikian, Nuh tetap mengajak kaumnya untuk kembali ke ajaran tauhid.
Seperti kisah para nabi yang lain, mula-mula yang menjadi pengikutnya adalah golongan lemah, miskin papa, yang tidak mempunyai daya apa-apa di hadapan para penguasa Sumeria. Maka, penghinaan dan penolakan pun semakin menjadi-jadi. Hal ini digambarkan dalam Al-Quran sebagai berikut, “Maka berkatalah pemimpin-pemimpin kafir dari kaumnya, 'Kami tidak melihat kamu, melainkan (sebagai) seorang manusia (biasa) seperti kami, dan kami tidak melihat orang-orang yang mengikuti kamu, melainkan orang-orang yang hina dina di antara kami yang lekas percaya saja, dan kami tidak melihat kamu memiliki suatu kelebihan apa pun atas kami, bahkan kami yakin bahwa kamu adalah orang-orang yang dusta’.” (QS Hud: 27).
Mereka bahkan mengancam Nuh dengan kata-kata yang sangat seram, “Mereka berkata, ‘Sungguh jika kamu tidak mau berhenti, hai Nuh, niscaya benar-benar kamu akan termasuk orang-orang yang dirajam (dilempari batu hingga mati).” (QS Asy-Syu’ara’: 116).
Demikianlah bantahan kaumnya atas ajakan Nuh AS. Bahkan istri dan putranya termasuk dari golongan mereka yang menentang Nuh. Konon, nama putra Nuh yang menolak ajakan bapaknya bernama Kanaan (Qana'an).
Berhari-hari, berbulan-bulan, bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun Nuh mengajak kaumnya ke jalan yang benar. Namun, hasil yang didapat tidaklah sebagaimana yang ia harapkan. Penolakan dan ejekan-ejekan pun semakin menjadi-jadi. Nuh menjadi sangat sedih dan mengadukan hal ini kepada Allah, “Nuh berdoa, ‘Ya Tuhanku, tolonglah aku karena mereka mendustakan aku’.” (QS Al-Mukminun: 26).
Dalam surah lain, dikemukakan, “Nuh berkata, ‘Ya Tuhanku, sesungguhnya aku telah menyeru kaumku siang dan malam. Maka seruanku itu hanyalah menambah mereka lari dari kebenaran. Dan sesungguhnya setiap kali aku menyeru mereka agar Engkau mengampuni mereka, mereka memasukkan anak jari mereka ke dalam telinga dan menutupkan bajunya, dan mereka tetap menyombongkan diri dengan sangat’.” (QS Nuh: 5-7).
BAHTERA RAKSASA
Allah, Yang Maha Mendengar, menjawab keluhan Nuh dalam firman-Nya, “Dan diwahyukan kepada Nuh bahwasannya sekali-kali tidak akan beriman di antara kaummu kecuali orang yang telah beriman, karena itu janganlah kamu bersedih hati tentang apa yang telah mereka kerjakan. Dan buatlah bahtera itu dengan pengawasan dan petunjuk wahyu kami, dan janganlah kamu bicarakan dengan Aku tentang orang yang zalim itu; sesungguhnya mereka itu akan ditenggelamkan." (Hud: 36-37).
Maka dibuatlah perahu itu oleh Nuh AS dibantu oleh putra-putranya yang beriman, Ham, Syam, dan Yafitz, serta kaumnya yang beriman. Tidak terbayangkan bagaimana mereka membuat perahu di daerah pesawahan dan perkebunan Mesopotamia itu. Dan ketahuilah, Nuh dan kaumnya itu bukan para nelayan yang biasa melaut dan bikin perahu! Lagi pula perahu yang dibuat oleh "orang-orang yang bukan ahlinya" itu harus perahu yang superbesar, yang akan mengangkut orang-orang yang beriman dan binatang-binatang secara berpasang-pasangan. Sudah bisa dipastikan, pekerjaan mereka itu menjadi bahan olok-olokan yang semakin menjadi-jadi dari kaumnya yang kafir itu. Namun, berkat bimbingan wahyu, selesailah perahu yang bahan bakunya dari kayu itu.
Dalam Al-Quran diriwayatkan, Allah memerintahkan Nabi Nuh untuk mengangkut masing-masing hewan sepasang (jantan dan betina) ke dalam bahteranya, “Hingga apabila perintah Kami datang dan dapur telah memancarkan air, Kami berfirman, ‘Muatkanlah ke dalam bahtera itu dari masing-masing binatang sepasang jaantan dan betina, dan keluargamu, kecuali orang yang telah terdahulu ketetapan terhadapnya, dan muatkan pula orang-orang yang beriman.” (QS Hud: 40).
Maka, sesuai dengan tanda yang diisyaratkan, berupa “dapur yang telah memancarkan air”, yakni timbulnya topan, naiklah putra-putra Nuh yang beriman, kecuali istrinya dan Kanaan, orang-orang yang beriman, beserta binatang-binatang ternak berpasang-pasang. Sementara, orang-orang kafir Sumeria Kuno itu semakin menghina Nuh dan kaumnya. Mereka mengira, hujan itu adalah hujan rahmat dari dewa-dewi mereka.
Nah, sejak saat itulah hujan terus-menerus mengguyur lembah subur Mesopotamia itu. Dua sungai besar, Eufrat dan Tigris, tidak bisa lagi menampung aliran air yang diguyur hujan lebat yang tak ada henti-hentinya. Tenggelamlah kaum Nabi Nuh yang kafir tersebut dalam banjir besar yang tiada taranya.
Konon, hujan itu berlangsung selama 40 hari 40 malam, dan baru surut setelah 150 hari. Menurut penyelidikan para ahli, banjir yang terjadi saat itu tidak melanda seluruh dunia, melainkan hanya terjadi di daerah Mesopotamia, kini termasuk wilayah Irak, khususnya di daerah lembah antara Sungai Eufrat dan Sungai Tigris. Namun karena lembah tersebut demikian luas, ketika terjadi hujan superlebat berhari-hari, meluaplah kedua sungai itu. Lalu airnya menenggelamkan lembah di antara dua sungai tersebut. Demikian banyak airnya sehingga lembah itu berubah seperti laut, menenggelamkan seluruh umat Nabi Nuh yang ingkar di lembah itu.
Pada tahun ‘90-an, para arkeolog dari Inggris dan Amerika itu menemukan fosil yang diduga bahtera Nabi Nuh di Pegunungan Ararat, Armenia. (may/voa-islam.com)