Kaum Tsamūd (bahasa Arab: ثمود) adalah suku kuno Arabia yang diperkirakan hidup sekitar millenium pertama Sebelum Masehi dan dekat dengan waktu kenabian Muhammad. Mereka diperkirakan berasal dari wilayah Arabia selatan yang kemudian pindah menuju utara. Mereka kemudian menetap di Gunung Athlab, Madain Shaleh (Wkipedia).
Sejumlah besar kaum Tsamud merupakan pengukir dan pemahat bukit yang baik. Ukiran dan pahatan mereka hingga saat ini dapat ditemui di Gunung Athlab dan hampir seluruh Arab bagian tengah.
Sebagaimana disebutkan dalam Al Quran, kaum Tsamud menolak peringatan-peringatan dari Allah sebagaimana dilakukan kaum ‘Ad, dan sebagai konsekuensinya mereka pun dihancurkan. Kini, dari hasil studi arkeologi dan sejarah, banyak hal yang tidak diketahui sebelumnya telah ditemukan, misalnya lokasi tempat tinggal kaum Tsamud, rumah-rumah yang mereka buat, dan gaya hidup mereka. Kaum Tsamud yang disebutkan dalam Al Quran merupakan fakta sejarah yang dibenarkan oleh banyak temuan arkeologis saat ini.
Kaum ini memiliki kelebihan yang luar biasa dalam hal arsitektur, yaitu membangun gedung-gedung pencakar langit. Jika Anda berkesempatan keliling dunia, terutama Timur Tengah, cobalah mampir ke Yordania, sebuah negara kerajaan di sebelah utara Arab Saudi. Di sana ada sebuah tempat yang bernama Lembah Petra. Akan Anda jumpai bangunan purbakala nan indah dan kukuh.
Bangunan itu mirip dengan istana-istana yang dibangun Kekaisaran Romawi Kuno atau peninggalan-peninggalan Mesir kuno. Tiangnya tinggi-tinggi, pintunya pun besar, dengan gapura-gapuranya yang artistik.
Gedung-gedung pencakar langit itu sengaja dibangun dengan cara memahat gunung-gunung cadas! Hingga saat ini, masih tampak jelas sisa-sisa pahatannya. Nah, siapakah sebenarnya kaum pemahat gunung ini?
Ashhabul Hijri, yang artinya penduduk kota Hijr, menurut para mufasir, adalah para pemahat gunung-gunung cadas yang berada di Lembah Petra tadi. Mereka generasi penerus kaum 'Ad atau Adites atau Atlantis yang kurang lebih sama hebatnya dalam utak-atik arsitektur kuno.
Kaum ‘Ad adalah kaum Nabi Hud AS yang tinggal di tanah Iram. Mereka diamuk badai berhawa panas dan dingin selama tujuh hari delapan malam, sehingga tanah itu berkurang kesuburannya. Penduduknya yang beriman kepada ajaran Nabi Hud AS selamat dari amukan badai tersebut, mencari lagi tempat lain yang lebih subur.
Beberapa dekade kemudian mereka bermigrasi ke wilayah utara Arab Saudi. Di sana mereka menetap dan beranak pinak, membentuk satu koloni yang semakin lama semakin besar dan kuat. Di wilayah tersebut, mereka membentuk bangsa tersendiri yang disebut Kaum Tsamud atau Thamud.
Kaum Thamud yang dikabarkan dalam Al-Quran adalah bangsa yang jauh lebih kuat, yang telah membangun peradaban yang sangat maju. Sebagaimana leluhurnya, kaum 'Ad, kaum Thamud mengembangkan pola hidup agraris, yaitu menggantungkan hidup dari budi daya hasil-hasil pertanian, terutama kebun-kebun kurma. Mereka juga mengembangkan sistem irigasi yang canggih, yang memungkinkan hasil bumi mereka berlimpah dan berkualitas. Tanahnya yang subur menjadikan kaum ini makmur.
Ilmu pengetahuan mereka sangat maju. Di samping itu, Allah juga menganugerahi mereka dengan otak yang cerdas, kemampuan fisiknya yang kuat, yang memungkinkan mereka mengelola negerinya dengan aman dan tenteram.
Satu kelebihan yang dimiliki kaum ini yang tidak dimiliki oleh kaum yang lainnya, termasuk leluhurnya, kaum 'Ad, adalah kemampuan membangun gedung-gedung tinggi dengan cara memahat gunung-gunung cadas. Gedung-gedung gunung itu tidak hanya dijadikan monumen, tapi juga menjadi tempat tinggal mereka. Konon, menurut sebagian ahli tafsir, istana pahatan itu dijadikan tempat berlindung manakala terjadi pergantian iklim. Di musim dingin, mereka berpindah ke istana gunung cadas itu untuk menghindari angin padang pasir yang ganas yang berhawa dingin. Mereka juga berhasil menyambungkannya dengan istana-istana yang berada di tanah datarnya. Mereka membangun semacam lorong-lorong yang saling bersambungan.
MUKJIZAT UNTA BETINA
Seperti halnya umat-umat yang terdahulu, sepeninggal Nabi Hud AS, berbagai penyimpangan telah terjadi. Mereka kembali kepada kepercayaan nenek moyangnya dengan menyembah berhala. Mula-mula mereka menciptakannya sebagai wujud orang saleh yang dibuatkan patung-patungnya. Mereka beranggapan, dengan adanya wujud patung itu, mereka merasa lebih dekat lagi dengan idolanya dan bisa meresapi ajaran-ajarannya. Kemudian beralih fungsi menjadi penyambung doa-doa mereka kepada Tuhan yang pada akhirnya mereka menyembahnya sebagai wujud Tuhan dan melupakan ajaran tauhid yang dibawa Nabi Hud AS.
Peradaban yang tinggi dan kemajuan ilmu pengetahuan yang dimilikinya membuat mereka semakin sombong. “Siapa sih yang sanggup membuat gedung pencakar langit dari gunung-gunung yang dipahat dengan ukiran-ukirannya yang indah? Siapa sih yang berani menandingi kecerdasan kami?” kira-kira itulah ungkapan-ungkapan kesombongan mereka.
Maka, diutuslah Shaleh (‘alaihissalam), untuk mengembalikan kepercayaannya pada ajaran tauhid. Shaleh (‘alaihissalam) adalah salah seorang penduduk kota Hijr yang betul-betul diharapkan sebagai pemimpin atau generasi penerus peradaban Tsamud yang gilang-gemilang. Dia adalah seorang yang sangat cerdas dan pandai ber-retorika. Tapi ternyata, Shaleh (‘alaihissalam) tidak sesuai dengan apa yang diharapkan para pemuka Tsamud. Bukannya menjadi pemimpin Tsamud, ajaran baru tentang ketauhidan yang dibawanya membuat penduduk kota itu gempar dan gusar. Ia dianggap penghancur tradisi nenek moyangnya.
Ajaran ketauhidan yang dibawa Shaleh (‘alaihissalam) sama sekali tidak menggoyahkan pendirian kaum itu. Mereka menganggapnya seorang yang kena sihir disebabkan oleh ajarannya yang mereka anggap tidak masuk akal. Bahkan kaum pemahat gunung itu menantangnya untuk mendatangkan satu mukjizat untuk membuktikan kerasulan Shaleh (‘alaihissalam).
Mereka menantangnya untuk mendatangkan seekor unta betina. Unta mukjizat ini lain daripada yang lain. Tantangan kaum Tsamud kepada Shaleh ‘Alaihissalam adalah mendatangkan seekor unta yang konon harus keluar dari batu yang memancarkan mata air. Maka, berdoalah Shaleh ‘Alaihissalam kepada Allah untuk mendatangkan mukjizat sebagaimana yang mereka minta. Maka, atas izin Allah, keluarlah unta tersebut. Unta betina ini harus dibiarkan berjalan-jalan sekehandaknya di kota Hijr; mencari makan, minum, dan tidak boleh diganggu.
Dalam hal minum dari sumber mata air di kota itu pun, unta ini mendapat keistimewaan tersendiri. Satu hari penduduk kota, satu hari unta betina, demikian seterusnya.
Pada mulanya mereka menaati apa yang diperintahkan Shaleh ‘Alaihissalam. Namun, lama-kelamaan mereka kesal dan kesabaran pun hilang. “Untuk apa menunggu unta betina itu sampai-sampai minum pun harus diatur?” kata salah seorang anggota kaum Tsamud. Maka, mereka mulai mengganggu unta betina itu, menyakitinya, dan pada akhirnya menyembelihnya.
Melihat kenyataan itu, Shaleh ‘Alaihissalam merasa gusar. "Mereka membunuh unta itu, maka berkatalah Shaleh ‘Alaihissalam, ‘Bersukarialah kamu sekalian di rumahmu selama tiga hari, itu adalah hari yang tidak dapat didustakan." (QS Hud: 65).
Maka, pada suatu pagi yang cerah di hari yang keempat setelah penyembelihan unta betina dan rencana pembunuhan terhadap keluarga nabiullah itu, datanglah azab Tuhan yang dijanjikan, berupa guntur yang sangat keras, petir yang menjilat-jilat yang meluluhlantakkan seluruh bangunan kota Al-Hijr itu, disertai gempa yang sangat dahsyat. Semua penduduk kota menjadi mayat yang bergelimpangan di dalam rumah, di dalam istana-istana, dan di jalanan, kecuali Shaleh ‘Alaihissalam, keluarganya, dan sebagian penduduk yang beriman. Mereka diselamatkan atas kehendak Allah.
Kaum Tsamud yang ingkar pun musnah ditimpa azab-Nya. Allah mengabadikannya dalam Al-Quran agar kita dapat memetik pelajaran darinya. Salah satunya, "Ingatlah, sesungguhnya kaum Tsamud mengingkari Tuhan mereka. Ingatlah, kebinasaanlah bagi kaum Tsamud." (QS Hud: 68).